Sabtu, 21 April 2012

Terima Kasih Cinta


Setulus hati kuucap terima kasih
Untukmu yang sudi mencintaku
Meski aku tak berkata apa
Kamu masih saja setia

Saat ini yang kamu tau adalah sisi baikku
Tapi suatu saat nanti aku harap kamu sedia
terima pula sisi burukku

Terima kasih sudah menungguku
Kelak kuharap kamu juga akan relakan
seluruh waktumu untukku
Dan aku tau menunggu itu adalah sesuatu
yang sangat menyebalkan
Apalagi ketika kita tau apa yang kita tunggu
itu tidak akan pernah datang
Mungkinkah kamu akan tetap menunggu.?

Aku tidak akan menyalahkanmu jika suatu
hari nanti kamu lelah dan memutuskan untuk pergi
Setidaknya sebelum kamu pergi.,
Kamu tau aku sudah mencoba

Terima kasih untuk segala kasih, sayang dan cinta
yang kamu beri
Juga kenangan yang mungkin nanti akan kamu tinggalkan...

Kamis, 05 April 2012

Manusia Munafik, Angin, dan Daun Kering


Sore ini, mendung menyapu cahaya mentari hingga gelap, pekat.

Aku yang sejak pagi punya antusias untuk menikmati hari Kamis setelah waktuku kemarin habis hanya untuk menanti… Kemudian gelapnya pekat yang dicipta sang Maha Kuasa bagi tempat kakiku berpijak, mampu merasuk hatiku…
Menembus…
Merayu…
Merajuk…
Merusak…
Meluluh lantakkan dan menjatuhkan aku ke tempat entah di mana ini.

Sebuah lorong gelap, panjang, yang tak pernah ku tau ke mana akhir dari lorong ini. Dan sialnya, kosong. Aku sendiri. Berteman sepi.
Ku coba untuk bertarung dengan panjangnya lorong ini. Berjalan lurus kemudian belok kanan, lalu ke kiri, ke kiri lagi, lurus lagi, dan entah sudah berapa mil jauhnya lorong ini aku telusuri. Masih saja gelap. Ke mana lagi sekarang? Sudah tidak mungkin untuk kembali ke titik awal ku tadi.

Tiba-tiba saja angin menepuk pundakku pelan. Meski berbisik, aku masih bisa mendengarnya, “Ikuti aku, dan kamu tidak akan tersesat”.

“Haruskah aku percaya padamu?”

“Tidak ada yang mengharuskanmu. Kamu punya pilihanmu sendiri.”

“Lalu, akan kamu bawa aku ke mana?”

“Jika ingin tau, maka ikuti saja.”

Aku berjalan lagi, kali ini dibimbing sang Angin. Kami berjalan lurus, kemudian belok kanan, lalu ke kiri, ke kiri lagi, lurus lagi, dan entah sudah berapa mil jauhnya lorong ini kami telusuri.

Aku mulai melihat cahaya di ujung sana. Aku berlari dan akhirnya aku bisa terbebas dari jeratan lorong panjang.
Tapi kemudian aku tersadar dari bahagia sesaatku, karena kini aku rasa aku sudah benar-benar tersesat. Aku tak tau di mana aku berada sekarang. Aku melihat sekelilingku dan kemudian kutemukan sebatang pohon di sana.

Angin yang tadi menuntunku ke tempat terasing ini, menampar keras daun kering pohon itu hingga gugur terjatuh.
Jatuh tepat di kakiku. Ku pungut dia.

“Apa kamu baik-baik saja?”, tanyaku.

“Apa kamu akan merasa baik-baik saja setelah jatuh dari ketinggian harapanmu?”, daun itu menjawabku dengan pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan. “Tapi aku lebih baik darimu, meski aku jatuh, pohonku akan menumbuhkan daun-daun baru yang lebih baik dariku.”

Aku merasa tertampar mendapat petuah tersirat dari daun kering yang baru saja jatuh tepat di bawah kakiku.
Kemudian aku berbalik marah pada angin yang menjatuhkan daun kering, “Kenapa kamu tega berbuat jahat seperti itu pada daun yang sudah kering dan lemah tak berdaya?”

“Kenapa kamu harus marah padaku? Apa kamu sedang menutupi malumu karena kamu tidak lebih baik dari daun kering? Daun itu saja ikhlas aku jatukan, tidak marah dan justru merasa bersyukur karena akan digantikan oleh daun-daun muda yang lebih baik darinya.”

Jawaban Angin pun membuatku tak kalah tertohoknya dari jawaban Daun Kering tadi, “Lalu kenapa tadi kamu menolongku, jika pada daun kering saja kamu menjatuhkan?”

“Karena aku sama sepertimu.”

“Maksudmu?”

“Jangan berpikir bahwa kamu ini orang baik, karena kamu sebenarnya adalah manusia munafik yang sedang berpura-pura baik. Nikmati saja peran protagonismu saat ini. Tapi ingatlah! Suatu hari kamu juga tak akan bisa menghindari sifat antagonis yang kamu miliki. Adakalanya kamu juga harus menikmati peran antagonismu.”

Aku berusaha mencerna apa yang dimaksud Angin. Sampai akhirnya aku pusing dan tertarik suatu magnet hingga terlempar di atas tanah keras lapang luas, yang semakin lama aku rasa semakin sempit menghimpit tapi terasa lebih lunak.
Aku menutup mata.
Lalu saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamarku sendiri. Di atas tempat tidurku. Entah siapa yang memindah ku dari atas tanah keras lapang luas tadi ke sini.