Sudah melarutkah senyum itu dari kening bebintang?
Rasanya belum…
Tak pernah, semili pun.
Dia, yang tak berhenti takjub dan begitu mudahnya berkata jatuh cinta, masih tak habis rasa dengan semua yang terjadi di setiap lekuk peristiwa…
Dia, yang tak senanodetik pun bilang tak suka, selalu punya alasan untuk mengagumi sudut pandang setiap jiwa dan menjadikannya istimewa.
Meski hanya belajar dari kuncup yang memekar, atau berkaca pada jelaga di genangan air berawa,
Dia masih sama.
Tak pernah berubah.
Mungkin tak banyak yang tahu di diamnya yang lama, dia sedang tenggelam dalam sibuk yang payah.
Sibuk menghitung pertanda di tiap tapak jejaknya,
sibuk memaknai ini-itu dan mencatatnya di dinding-dinding langit semesta,
sibuk memerhatikan wajah pagi dan melukis nafas-nafas embun yang memberi senyum baru pada rumput-rumput yang kemarin layu,
sibuk berdialog dengan apa-siapa lalu merekamnya pada rerintik gerimis juga angin kemarau yang menyapa.
Hanya tak ingin ada yang tertinggal, dikoyak waktu, lalu terbang menguap bersama asap knalpot dan melayang-layang di udara tanpa arah..,
Jangan..,
Sayang…..
Memang tak selalu menemukan terang di remang jalannya,
Memang tak selalu menemukan terang di remang jalannya,
seperti bulan runcing yang sesekali tergolek lesu tak bernyawa di liat malam yang pekat. Gelap…
Meraba-raba, menerka-terka agar tak salah menembak perspektif.
Sungguh, tak mudah menafsirkan kata-kata yang tergores di langit.
Atau memetik arti di kibasan pasir tempat kakinya menapak.
Tak mudah.
Namun bukan berarti sulit merangkum makna di sepanjang-panjang cakrawala,
karena dia tahu, Tuhan memberinya mata yang tak sekadar mata,
indera yang tak sebatas indera,
akal yang tak cuma akal,
dan rasa yang tak hanya merasa..,
Lebih dari itu..,
Bukan sekadar tahu, atau mampu, tapi juga mau.
Di sinilah dia belajar terbang meski dari kepak sayap sederhana..,
Membilang kesan dari lembaran-lembaran waktu yang melukis metafora..,
Belajar bercermin dari persepsi yang bukan miliknya, hanya untuk menyemai bijak agar tak melulu mementingkan egonya..,
Mungkin Tuhan sengaja menitipkannya pada apa-siapa yang mampir menyentak sadarnya..,
Bisa dari celotehan anak-anak yang diam-diam terekam telinga, dari warung-warung kopi saat wajah mengelabu, dari kerinduan yang menggigit ingatan di masa lalu, dari bisik hati di ruang-ruang gelisah, dari serbuk-serbuk bunga yang ditaburkan ke udara, dari kicau burung yang dilupakan sejarah…..
Ah, ternyata seperti ini..,
Sederhana sekali.
Dia tidak sedang menggodamu untuk berpikir, atau merayumu agar mengikuti inginnya. Tidak..,
Dia hanya mengumpulkan gelisahnya dalam keranjang untuk dibawa pulang..,
Bukan untuk dibagi, sebab penanya kadang habis tinta..,
Mungkin mengering..,
Aku juga tidak tahu.,
Seperti ilalang tanpa angin, di selokan tanpa air..,
Kasian..,
Tapi percayalah, dia masih bisa mengais sisa-sisa nafas meski tersengal-sengal.
Dia masih berusaha membangun sedimen cerita di tengah alur yang kusut dan plot yang absurd..,
Hanya agar bisa menyunggingkan senyum di bibir bianglala ketika hujan kian mereda.., Dan memantulkan manisnya di wajahmu…..
Jika yang kau tanyakan tentang itu, dia tidak pernah berubah.
Masih sama...
(¯`*•.¸♥☆☆☆☆♥¸.•*´¯)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar